Hukum Berperang (Kitab Jihad / Peperangan Bagian 3)
Meskipun setengah ulama berpendapat bahwa hukum berperang fardhu a'in atas tiap-tiap orang dari umat Islam, akan tetapi yang lebih hak hukum berperang itu ialah "fardhu kifayah". artinya wajib atas jumlah umat Islam. Akan tetapi kalau sebagian umat telah mengerjakannya serta telah cukup bilangannya menurut hajat di waktu itu, maka terlepaslah kewajiban itu dari yang lain, yang tidak mengerjakannya; terkecuali di waktu hajat yang memaksa, maka ketika itu barulah menjadi "fardhu 'ain".
Firman Allah SWT:
"Tidak sama orang yang duduk diantara orang-orang Islam (tidak berperang), dengan orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan harta jiwa raga mereka, terkecuali orang yang berhalangan. Allah melebihkan derajat orang yang berperang dengan mengorbankan harta dan jiwa raga mereka dari orang yang tidak berperang, sedang kepada tiap-tiap golongan Allah menjanjikan sama-sama mendapat kebajikan. Allah melebihkan orang-orang yang berperang daripada yang tidak turut berperang dengan ganjaran yang besar. QS.An Nisa:95".
Ketika hukum berperang masih "fardhu kifayah", maka untuk menentukan memilih balatentara dari jumlah umat Islam, di masa Rasulullah SAW terserah kepada beliau. Dan sesudah beliau berpulang ke rahmatullah, kekuasaan itu jatuh ke tangan "Khalifah"(Imam A'zham). Hukumnya atas orang yang dipilih menjadi balatentara menjadi "fardhu 'ain", artinya mereka wajib menjalankannya selaku menunaikan kewajiban suci untuk mendapat keridhaan Allah.
Sekarang siapakah yang berhak menentukan balatentara itu? Hal ini menurut agama, yang dapat mengambil hak pimpinan apabila pimpinan tidak ada, ialah "Ahlul Halli Wal Aqdi", mereka ulama cerdik pandai, pemimpin-pemimpin yang menjalankan hukum Allah.
Firman Allah SWT:
"Keluarlah kamu ke medan peperangan dengan berjalan kaki atau berkendaraan, dan berperanglah kamu dengan hartamu dan jiwa ragamu pada jalan Allah. Demikianlah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. QS.At Taubah:41".
Difaham dari Surah An Nisa ayat 95 tadi kedua pihak dari dua golongan yang berperang dan yang tidak berperang akan mendapat kebaikan dari Allah. Hanya yang berperang mendapat ganjaran lebih banyak dari yang tidak berperang. Maka jika sekiranya berperang itu difardhukan atas semua orang atau masing-masing umat Islam, tentunya yang berperang saja yang mendapat ganjaran kebaikan dan yang tidak berperang tentu mendapat siksaan (hukuman), karena tidak menjalankan perintah tugas kewajibannya.
Hukum dan keterangan tersebut dipandang dari pendapat ahli Fiqih. Dibawah ini akan kita uraikan pandangan menurut kenyataan-kenyataan dari peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian yang telah dilakukan oleh umat Islam, ditinjau dari sudut riwayat tarikhiyah.
Setelah agama Islam tersiar luar di seluruh dunia, di Timur dan di Barat, serta didorong pula oleh beberapa kepentingan dan dipaksa oleh keadaan-keadaan, kesulitan-kesulitan politik, sebagai memaksa, mau tak mau Daulah Islamiyyah pada abad ke delapan Masehi (kedua hijri) terdiri dari dua Daulah Islamiyyah:
1. Daulah 'Abbasiyah di Timur (Baghdad),
2. Daulah Umawiyah, di Barat, Andalus (Spanyol).
Kedua DaulahPenjelasan:
Daulah atau daulat = kerajaan pemerintahan. tersebut menjalankan kewajiban pemerintahannya sendiri-sendiri, menyusun "Majelis Syura" sendiri-sendiri untuk menyelidiki dan menyesuaikan soal-soal yang bersangkutan dengan kedaulatan masing-masing. Baik yang bersangkutan dengan ibadah maupun yang bersangkutan dengan masyarakat, baik mengenai urusan dalam negeri maupun yang mengenai urusan luar negeri, seperti peperangan, perdamaian, perhubungan diplomatik, perekonomian dan lain-lain, satu persatunya berjalan sendiri-sendiri. Menyusun badan-badan dan mendidik prajurit sendiri-sendiri. Keputusan syura dari rakyat ditanfizkan oleh pucuk pimpinan masing-masing pula. Daulah-daulah ini walaupun gerak-gerik keduanya sama-sama berdasarkan Al-Qur'an, hadits, ijma dan ijtihad yang membuahkan qias, masing-masing berdiri sendiri. Hukum-hukum dan pekerjaan satu persatunya dianggap sah, diakui dan ditaati oleh Muslimin. Diabad-abad yang terakhir dari itu banyak pula daulah-daulah Islamiyyah yang bekerja sendiri-sendiri menjalankan perintah-perintah Allah seperti yang ada sampai sekarang "Mamlakah Sa'udi 'Arabia" di Hijaz dan Pemerintah Imam Yahya di Yaman. Di Hijaz diadakan "Majlis Syura" sebagai tangan kanan Abdul 'Aziz Ibnu Sa'ud untuk menyelidiki hukum-hukum Allah serta menyesuaikannya dengan keadaan rakyat, baik mengenai soal dalam atau luar negeri, baik mengenai pemerintahan maupun mengenai politik.
Daulah atau daulat = kerajaan pemerintahan.
Apakah sebab hukum-hukum dan pekerjaan masing-masing Daulah-Daulah tadi dipandang sah dan ditaati oleh kaum Muslimin? Menurut dugaan kita boleh jadi malahan dekat sekali dapat diambil dari:
Firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan perintah RasulNya dan perintah Ulil-Amri dari kamu. QS.An Nisa:59".
Menurut keterangan dalam "Kitab Ahkamul-Qur'an" Kitab tafsir ayat Ahkam, karangan Kadhi Abu Bakar yang dikenal Ibnu Al-'Arabi Al-Andalussi, sesudah penafsirannya menerangkan beberapa pendapat ahli tafsir tentang arti Ulil-Amri,
Beliau Berkata:
"Yang lebih hak lebih sesuai, bahwa yang dimaksud dengan "Ulil-Amri" yang tersebut dalam ayat ialah "Umara' (wali-wali negeri) dan ulama".
Maka perintah dan fatwa mereka wajib ditaati, dijalankan oleh umat selama mereka tidak melanggar nash Allah dan RasulNya.
Setengah ulama berpendapat bahwa berperang ada kalanya "Fardhu Kifayah" dan ada pula "Fardhu 'Ain" menurut keadaan.
Fardhu Kifayah dalam dua keadaan:
a. Untuk menjaga batas-batas negeri Islam sewaktu damai sebelum terjadi peperangan; banyaknya menurut hajat keperluan yang sesuai dengan keadaan tiap-tiap masa dan tempat.
b. Apabila Imam telah mengumumkan perang terhadap musuh, ketika itu fardhu kifayah atas orang-orang yang mencukupi syarat-syaratnya. Banyaknya menurut hajat keperluan di waktu itu.
Fardhu 'Ain:
Hukum berperang menjadi fardhu 'ain atas tiap-tiap Muslimin apabila musuh telah masuk ke dalam negeri Islam, ketika itu berperang menjadi fardhu 'ain atas tiap penduduk negeri yang telah dimasuki musuh itu, dan penduduk negeri-negeri yang di sekitar negeri itu, yang jauhnya kurang dari perjalanan Qasar (kira-kira 80,640 KM). Dan fardhu kifayah atas lebih, banyaknya menurut kepentingan, sekadar mencukupi hajat untuk pembelaan negeri yang telah dimasuki oleh musuh itu.
Bantu Klik Iklan Dibawah Ya
Satu Klik-an Sangat Berarti Untuk Kepentingan Blog Ini
Terima Kasih Atas Bantuannya
Satu Klik-an Sangat Berarti Untuk Kepentingan Blog Ini
Terima Kasih Atas Bantuannya
Tag :
fiqih,
kitab jihad (peperangan)
0 Komentar untuk "Hukum Berperang (Kitab Jihad / Peperangan Bagian 3)"
Silahkan Beri Komentar Pada Setiap Postingan Disini Karena Komentar Anda Sangat Berarti Demi Kepentingan Bersama dan Blog ini Tapi Alangkah Baik dan Indahnya Jika Berkomentar Dengan Adab dan Sopan Santun. Jika artikel ini bermanfaat, mohon bantu di share ya dan tolong bantu klik iklannya.
"Please, Don't SPAM"