Kitab Puasa (Shiyam)

Kitab Puasa (Shiyam)

KITAB PUASA (SHIYAM)

Shaumu, menurut bahasa Arab menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan dan sebagainya.

Menurut istilah agama Islam: Menahan diri dari sesuatu yang membukakan (membatalkan), satu hari lamanya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.

Firman Allah SWT:
"Makanlah dan minumlah kamu, hingga waktu kelihatan benang yang putih dan benang yang hitam, yaitu fajar. QS.Al Baqarah:187".

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Umar, katanya: Saya telah mendengar Nabi besar SAW berkata: Apabila malam datang dan siang lenyap dan matahari telah terbenam, maka sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa. HR.Bukhari dan Muslim".

Puasa Ada Empat Macam

1. Puasa wajib yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kifarat dan puasa nazar.

2. Puasa sunnah.

3. Puasa Makruh.

4. Puasa haram (puasa pada hari raya Idul Fithri dan hari raya haji dan tiga hari sesudah hari raya haji, tanggal 11-13 bulan Haji).

Puasa bulan Ramadhan itu salah satu dari pada rukun Islam yang lima, diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad SAW berpindah ke Madinah. Hukumnya fardhu 'ain atas tiap-tiap mukallaf (Baligh berakal).

Firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman difardhukan atas kamu puasa sebagaimana telah difardhukan atas umat-umat yang terdahulu daripada kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa. Puasa itu dalam beberapa hari saja (30 atau 29 hari). QS.Al Baqarah:183-184".

Rasulullah sendiri telah mengerjakan puasa sembilan kali Ramadhan, delapan kali 29 hari, satu kali 30 hari.

Beliau berkata dalam hadits Bukhari:
 "Bulan itu terkadang-kadang 30 hari, terkadang-kadang 29 hari".

Sabda Rasulullah SAW:
"Islam itu ditegakkan diatas 5 dasar: 1.Menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang hak (patut disembah) melainkan Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad Pesuruh Allah. 2.Mengerjakan shalat lima waktu. 3.Membayar Zakat. 4.Mengerjakan haji. 5.Berpuasa pada bulan Ramadhan. HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad".

Puasa Ramadhan diwajibkan atas tiap-tiap orang mukallaf dengan salah satu ketentuan-ketentuan yang berikut dibawah ini: 

1. Dengan melihat bulan, bagi yang melihatnya sendiri.

2. Dengan mencukupkan bulan Sya'ban 30 hari. Maksudnya bulan tanggal Sya'ban itu dilihat, tetapi kalau bulan tanggal 1 Sya'ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan 30 hari.

Sabda Rasulullah SAW:
"Berpuasalah kamu sewaktu melihatnya (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihatnya (bulan Syawal), maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya'ban 30 hari. HR.Bukhari".

3. Dengan adanya melihat (ru'yat) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.

Sabda Rasulullah SAW:
"Bahwasanya Ibnu Umar telah melihat bulan, maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah SAW: Rasulullah SAW terus berpuasa dan beliau menyuruh orang banyak agar berpuasa juga. HR.Abu Daud".

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, katanya: Telah datang seorang kepada Rasulullah SAW diterangkannya bahwa ia telah melihat awal bulan Ramadhan. Rasulullah bertanya kepadanya: Adakah engkau mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah? Jawab orang itu: Ya sudah! Saya mengaku (artinya saya orang Islam). Lantas ketika itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Bilal supaya memberitahukan hal itu kepada orang banyak supaya mereka berpuasa besok harinya. HR.Lima Ahli Hadits".

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Amir Makkah, Al-Harits Ibnu Hathib, dia telah berkata: Telah menjanjikan Rasulullah SAW kepada kami supaya puasa dengan melihat bulan, jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil. HR.Abu Daud dan Daruquthni".

Dengan hadits ini dan hadits Ibnu Umar serta hadits Ibnu Abbas diatas, timbullah dua faham mengenai kesaksian melihat bulan Ramadhan itu. Sebagian ulama berpendapat: Cukup disaksikan oleh seorang saja, berarti apabila telah dipersaksikan oleh seorang kepada hakim, bahwa ia telah melihat bulan, hakim bolehlah menetapkannya dan wajiblah diumumkannya kesaksian itu: maka rakyat umum telah wajib berpuasa esok harinya. Sebagian lagi ulama berpendapat: Kesaksian satu orang saja itu belum dapat menjadi dasar untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan, tetapi harus disaksikan oleh dua orang yang adil. Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Harits tersebut.

4. Dengan kabar Mutawatir: yaitu kabar dari orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat berdusta atau berbohong.

5. Percaya kepada orang yang melihat.

6. Tanda-tanda yang biasa dilakukan di kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum) seperti lampu, meriam dan sebagainya.

7. Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu 'Umar, Dari Rasulullah SAW, sabdanya: Apabila kamu melihat bulan Ramadhan, hendaklah kamu berpuasa dan apabila kamu melihat bulan Syawal hendaklah kamu berbuka. Maka jika tertutup antara kamu dan tempat terbit bulan, maka hendaklah kamu kira-kira kan bulan itu. HR.Bukhari, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah".

Kata beberapa ulama, diantaranya Ibnu Syuraidi Mutarrif dan Ibnu Qutaibah: bahwa yang dimaksud dengan kira-kira ialah dihitung menurut hitungan secara ilmu falak (ilmu bintang).

Firman Allah SWT:
"Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, serta diaturNya tempat perjalanannya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah menjadikan yang demikian itu tiada dengan percuma, melainkan adalah dengan hakNya (ketentuannya), juga dikemukakanNya segala keterangan itu bagi kaum yang suka mengetahuinya. QS.Yunus:5".

Sesungguhnya kalau kita perhatikan amal ibadah kita sehari-hari di zaman maju sekarang ini; seperti waktu shalat lima waktu, sudah sepakat seluruh umat Islam di seluruh dunia telah memakai jam yang telah ditetapkan dalam jadwal waktu shalat menurut persesuaian waktu-waktu shalat di tempat masing-masing. Jelasnya agama Islam telah menentukan waktu satu persatu dari shalat lima waktu, misalnya Zuhur ditentukan dengan condong matahari ke sebelah barat, 'Ashar ditentukan dengan lebih bayang-bayang sepanjang badan. 'Isya ditentukan dengan hilangnya syafak dan Subuh awal waktunya ditentukan dari terbit fajar. Sekalian waktu-waktu shalat tersebut ditentukan oleh nas syara' (agama) dengan ukuran perjalanan matahari. Maka dengan kemajuan ilmu falak (ilmu bintang), dapatlah ulama-ulama falak menyesuaikan ukuran perjalanan matahari tadi dengan jam yang dipakai di tiap-tiap negeri guna mempermudah amal ibadah yang amat penting itu. Sekarang telah diamalkan oleh seluruh umat Islam di dunia ini dengan tidak sedikitpun menaruh syak atau ragu lagi. Dimana-mana, jika seseorang ingin mengetahui waktu shalat, baik pada waktu matahari tidak kelihatan maupun pada waktu matahari bersinar didepannya, dia tidak perlu memeriksa matahari lagi, hanya dengan mudah saja dia melihat jamnya. Sekiranya jam telah menunjukkan waktu yang dikehendakinya, dia terus adzan dan qamat, lalu shalat.

Begitulah amal yang telah dilakukan oleh segenap Muslimin dimana-mana, di seluruh dunia Islam, tetapi sayang di Indonesia ini, kita selalu saban tahun mendengar perbantahan umat Islam dalam hari permulaan puasa dan penghabisannya. Sebagian berpendapat berpuasa itu cukup diketahui dengan hitungan sebagaimana amal yang berlaku pada waktu shalat tadi, karena sedangkan shalat ibadah yang terutama sekali diantara beberapa ibadah, telah diakui sahnya dengan mempergunakan hitungan falak, apalagi puasa. Sebagian yang lain berpendapat untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa itu wajib dengan melihat bulan, tidak sah beramal dengan hitungan secara falak, karena dalam hadits diterangkan bahwa ketetapan mulai dan habisnya puasa itu adalah dengan melihat bulan. Mereka lupa bahwa waktu shalat tadi juga ditetapkan dengan ukuran perjalanan matahari, bukan dengan jam sebagai yang mereka amalkan dalam tiap-tiap shalat mereka. Tetapi oleh karena jam itu telah disesuaikan dengan nas syara', maka kita tidak perlu lagi melihat matahari. Kita bertanya, mengapa tidak dijalankan seperti itu juga untuk puasa? Kalau kita periksa lebih jauh dan kita perhatikan sedalam-dalamnya tahulah kita bahwa keadaan kedua waktu ibadah itu sama: begitu juga perhitungan dalam ilmu falak juga sama, yaitu untuk mencari persesuaian dengan waktu yang ditentukan oleh syara'. Kedua perhitungan itu, diakui sahnya oleh ahli falak sesudah dilakukan percobaan dalam masa berpuluh-puluh tahun. Waktu shalat dan puasa itu, semuanya mempunyai nas dari agama, kedua nas tidak menyinggung-nyinggung perhitungan falak, tetapi oleh karena maksud dan arti perhitungan itu sama dengan nas agama, maka dipandang bahwa perhitungan itu hanya semata-mata untuk menyesuaikan nas dengan keadaan, untuk memudahkan amal ibadah. Harus diingat bahwa di sebagian negeri, melihat bulan itu tidak mudah malahan banyak pula negeri yang tidak dapat melihat bulan pertama itu.

PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG MELIHAT BULAN

Apabila awal bulan Ramadhan itu kelihatan (dilihat), pada sebagian negeri dan di lain negeri tidak, maka wajib puasa bagi penduduk negeri-negeri yang melihat itu. Ini terang tidak ada perbedaan paham. Yang menjadi perbedaan paham antara ulama-ulama ialah terhadap negeri yang tidak melihat itu, apakah wajib atas penduduk negeri yang tidak melihat itu puasa, karena ada yang melihatnya di negeri lain atau tidak. Dalam hal ini timbul beberapa paham sebagai berikut:

1. Pendapat pertama: Tidaklah wajib puasa atas penduduk negeri yang tidak melihatnya, berarti melihat bulan di negeri lain tidak mewajibkan puasa atas penduduk negeri yang tidak turut melihatnya.

2. Wajib puasa atas penduduk negeri yang tidak melihat itu, apabila melihat bulan itu ditetapkan oleh imam karena imam mempunyai hak terhadap semua negeri-negeri yang diperintahnya.

3. Hanya wajib puasa atas penduduk negeri-negeri yang berdekatan dengan negeri-negeri yang melihat tetapi terhadap penduduk negeri yang jauh dari negeri tempat melihat itu, tidak wajib puasa.

Dalam ukuran jarak jauh ini ada pula beberapa pendapat:

a. Yang dinamakan jauh ialah sama dengan perjalanan qasar.

b. Perbedaan hawa, panas atau dinginnya negeri itu dibandingkan dengan negeri tempat melihat bulan itu.

c. Perbedaan Mathali' (terbit matahari). Pendapat inilah yang lebih dekat dengan pengertian ilmiah.

4. Wajib puasa atas penduduk negeri yang pada adatnya kemungkinan melihat sama dengan negeri yang melihat itu apabila tidak ada yang menghalanginya.

5. Tidaklah wajib apabila negeri itu berbeda tinggi atau rendahnya dengan negeri tempat melihat bulan itu.

Timbulnya perbedaan paham ini disebabkan hadits Kuraib yang dibawah ini, karena dalam hadits itu nyatalah Ibnu Abbas tidak berbuka karena penduduk Syam melihat bulan.

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh Ummul-Fadhli ke Syam untuk menemui Mu'awiyah. Katanya: Saya sampai di Syam, lalu saya selesaikan keperluan Ummul-Fadhli; sewaktu saya di Syam itu terjadilah ru'yat hilal Ramadhan, saya lihat bulan pada malam Jum'at kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada saya, katanya: Bila kamu melihat bulan? Saya jawab: Pada malam Jum'at. Abdullah bertanya lagi: Engkau sendiri melihatnya? Saya jawab: Ya, saya sendiri melihatnya dan orang banyak pun melihatnya pula dan mereka puasa dan Mu'awiyah pun puasa. Kemudian berkata Abdullah: Tetapi kami melihat pada bulan malam Sabtu, maka kami teruskan puasa sampai cukup 30 atau sampai kami melihat bulan Syawal. Lalu saya bertanya: Apakah tidak cukup dengan melihatnya Mu'awiyah -- akan bulan dan dengan puasanya? Jawab Abdullah: Tidak! Begitu diperintahkan Rasulullah SAW. HR.Jama'ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah".
0 Komentar untuk "Kitab Puasa (Shiyam)"

Silahkan Beri Komentar Pada Setiap Postingan Disini Karena Komentar Anda Sangat Berarti Demi Kepentingan Bersama dan Blog ini Tapi Alangkah Baik dan Indahnya Jika Berkomentar Dengan Adab dan Sopan Santun. Jika artikel ini bermanfaat, mohon bantu di share ya dan tolong bantu klik iklannya.

"Please, Don't SPAM"

Back To Top