Kisah Pernikahan Rasulullah 1



Bermimpi matahari turun kerumahnya.

Dia adalah Khadijah RA, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberi bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri. Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapapun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus karena tak ada yang berkenan dihatinya.

Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk kerumahnya serta memancarkan sinarnya ke semua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Mekkah yang luput dari sinarnya. Mimpi itu diceritakan kepada anak bapak saudaranya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam menafsirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.

Waraqah berkata:
"Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman"
Khadijah dengan sungguh-sungguh bertanya:
"Nabi itu berasal dari negeri mana?"
Jawab Waraqah dengan singkat:
"Dari kota Makkah ini"
Khodijah bertanya:
"Dari suku mana?"
Jawab Waraqah:
"Dari suku Quraisy juga"
Khadijah bertanya lebih jauh:
"Dari keluarga mana?"
Kata Waraqah dengan nada menghibur:
"Dari keluarga bani Hasyim, keluarga terhormat"
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar menerus pertanyaan terakhir:
"Siapakah nama calon orang agung itu, hai anak bapak saudaraku?"
Jawab Waraqah menegaskan:
"Namanya Muhammad SAW, Dia lah calon suamimu"

Khadijah pulang kerumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat, maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.

Nabi Muhammad Berniaga


Muhammad, calon suami wanita hartawan itu adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh bapak saudaranya, Abu Thalib, yang hidupnya serba kekurangan. Meskipun demikian, bapak saudaranya sangat sayang kepadanya, menganggap seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji. Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama 'Atiqah mengenai diri Muhammad.

Beliau berkata:
"Muhammad sudah pemuda 24 tahun. Semestinyalah sudah kawin tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat"
Setelah memikirkan segala ikhtiar. 'Atiqah pun berkata:
"Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkahi Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperoleh nafkah, kemudian dicarikan istrinya"

Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan. 'Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.

Khadijah, tatkala mendengar nama "Muhammad", ia berfikir dalam hatinya:
"Oh,, inilah tafsir mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga dari bani Hasyim dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan Nabi akhir zaman."
Seketika itu juga timbullah hasrat didalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak diungkapkannya karena khawatir akan fitnah.

"Baiklah", ujar Khadijah kepada 'Atiqah, "Saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama". Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang tersudut dihatinya. Kemudian ia meneruskan:
"Wahai 'Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi dan bagi Muhammad SAW akan diberi lebih tinggi dari biasanya".

Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua bersaudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata:
"Pergilah ananda kepada Khadijah RA, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya".

Muhammad SAW menuju kerumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari perkarangan rumah bapak saudaranya, tiba-tiba ia mencucurkan airmata kesedihan mengenai nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.

Kesaksian Seorang Rahib


Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah kepada rombongan:
"Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan didepan menuju ke negeri Syam".
Muhammad melaksanakan perintah. Setelah iring-irigan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya.

Dari mulutnya terucap suara kecil:
"Aduh hai nasib! Mana gerangan ayahku Abdullah, mana gerangan ibuku Aminah. Kiranyalah mereka menyaksikan nasib anandanya yang miskin yatim piatu ini, yang justru ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku".
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, dengan sesuai wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.

Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya sehingga mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah seorang rahib Nasrani. Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah dibawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya didalam Kitab Taurat. Rahib menyiapkan satu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasat siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.

Semua anggota hadir dalam majelis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap diatas kafilah. Bertanyalah rahib:
"Apakah diantara kalian masih ada yang tidak hadir disini?"
Maisarah menjawab:
"Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang"

Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majelis perjamuan. Ketika Muhammad SAW bergerak, rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah kemana Muhammad berjalan dan disaat Muhammad SAW masuk ke ruang perjamuan, rahib keluar rumah kembali menyaksikan awan itu dan dilihatnya awan itu tetap diatas, tidak bergerak sedikitpun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karomah dan keutamaan itu.

Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW. Dia bertanya:
"Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?"
Jawab Nabi:
"Dari Makkah"
Tanya sang rahib:
"Dari qabilah mana?"
Jawab Nabi:
"Dari Quraisy, tuan"
Tanya rahib:
"Dari keluarga siapa?"
Jawab Nabi:
"Keluarga bani Hasyim"
Tanya rahib lagi:
"Siapa namamu?"
Jawab Nabi:
"Namaku, Muhammad"

Serta merta ketika mendengar nama itu, rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya diantara kedua alisnya seraya mengucapkan:
"Laa ilaahaillallah, Muhammadar Rasulullah"

Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya:
"Sudikah engkau memperlihatkan tanda dibadanmu agar jiwaku tentram dan keyakinanku lebih mantap?"
Tanya Nabi:
"Tanda apakah yang tuan maksudkan?"
Jawab Rahib:
"Silahkan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian diantara kedua bahumu"

Nabi Muhammad memperkenankannya, dimana rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan.
"Ya,, ya,, tertolong,, tertolong.." seru rahib.
"Pergilah kemana hendak pergi. Engkau terus ditolong"
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan:
"Hai hiasan di hari kemudian, hari pemberi syafa'at di hari akherat, hai pribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai Nabi rahmat bagi seluruh alam"

Dengan pengakuan demikian, rahib dari ahli Al-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW dengan resmi menerima wahyu kerasulan dari langit.

Bantu Klik Iklan Dibawah Ya,, Terima Kasih Atas Bantuannya
1 Klik-an Sangat Berarti Untuk Kepentingan Blog Ini
3 Komentar untuk "Kisah Pernikahan Rasulullah 1"

Assalamu'alaika Ya Rasulullah

subhanallah sebuah kisah dan rasa cintaku kepadamu Rasulullas SAW.smkin besar Allahu Akbar.

terima kasih, semoga bermanfaat infonya buat kita semua

Silahkan Beri Komentar Pada Setiap Postingan Disini Karena Komentar Anda Sangat Berarti Demi Kepentingan Bersama dan Blog ini Tapi Alangkah Baik dan Indahnya Jika Berkomentar Dengan Adab dan Sopan Santun. Jika artikel ini bermanfaat, mohon bantu di share ya dan tolong bantu klik iklannya.

"Please, Don't SPAM"

Back To Top